Monday, July 31, 2017

BUKAN MALIN KUNDANG BIASA

"Anak durhaka! Ku kutuk kau jadi batu!" Ibunda Malin Kundang mendelik. Wajahnya yang putih mendengus marah. Bahunya sampai bergetar menahan emosinya.

Malin yang sudah mulai berjalan membelakangi Ibunya, berhenti. Berbalik kembali memandang Ibunya. Jari telunjuknya memainkan bibirnya.

"Mak, bisa gak jangan jadi batu melulu," ujar Malin. Hembusan nafas kecil dihempasnya. Kepalanya ditelengkannya memandang Ibundanya serius.

"Setidaknya kutuk aku jadi lilin." Malin mendengus. "Biar patungku bisa bersanding di Museum Madam Tussauds bersama tokoh-tokoh besar disana."

"Aku sudah lelah melakukan sensasi bodoh yang menjadi viral, hanya buat mendapatkan endorse, iklan dan tawaran main film payah. Biar pundi-pundiku membumbung. Padahal aku tidak menikmati hasilnya." Malin mencak-mencak. "Emak yang menikmatinya!"

Ibunda Malin mundur beberapa langkah. Wajahnya sedikit memucat. Dia gelisah.

"Emak sadar nggak sih, rekeningku kosong cuma buat membiayai oplas Emak. Obsesi Emak sama tokoh Dayang Sumbi yang selalu awet muda, bikin harta kita habis. Dan hanya karena aku tidak bisa memberi duit buat ganti model rambut, Emak mau mengutukku?"

Ibunda Malin nyengir. Mencoba menghindari ketegangan. Jarinya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Jangan terlalu didramatisir begitulah Lin." Suara Ibunda Malin hampir tidak terdengar. "Emak gak minta banyak kok."

Mata Malin melotot. Tangannya berkacak pinggang.

"Emak tau gak? Setiap aku jalan sama Emak, aku selalu digosipkan pedofil, gara-gara wajah permakan Emak!"

Wajah Malin sudah merah padam. Namun dia masih berusaha mengontrol amarahnya. Disertai kerjapan matanya, dia mulai mengatur nafasnya.

"Sudah Mak, kutuk saja! Kutuk aku jadi patung lilin. Setidaknya aku tidak akan kepanasan dan kehujanan."

PANGGUNG PERTUNJUKKAN

Semua orang sudah berada di tempatnya masing-masing. Menghadap ke arah panggung kecil yang di buat di lapangan luas. Panggung tinggi yang disangga oleh kayu yang dibuat seadanya.

Ada keriuhan yang terdengar. Mereka tidak sabar agar acara di panggung itu segera berlangsung. Suara mereka tidak begitu jelas mengucapkan apa, begitu baur. Walaupun aku sudah berusaha menajamkan pendengaranku.

Setelah teriakan lantang seseorang dari atas panggung tiba-tiba suara menjadi senyap. Aku bisa merasakan semua orang sedang memusatkan pandangannya ke arah panggung.

"Kita akan memulainya sekarang" ucap suara itu.

Aku yang sedari tadi duduk di belakang panggung, mulai meregangkan badanku. Ya, panggung itu untukku. Aku akan menampilkan pertunjukanku disana.

Aku menunggu dengan tenang, ketika sesorang memegang lenganku. Genggamnya memintaku berdiri tanpa suara. Aku patuh dan mengikuti. Pun ketika dia mulai berjalan bersamaku menapaki jalan menuju ke atas panggung.

"Tangga." ucap orang yang memegangku.

Aku meraba setiap tanjakan itu perlahan hingga dataran terkahir. Terus di bimbing menuju ke tengah panggung.

Angin berhembus sejuk tapi juga menyampaikan kesunyian. Akulah bintang yang sedang ditunggu. Hanya saja aku tidak bisa melihat ekspresi penontonku. Kepalaku sedang tertutup kain hitam.

"ada kata-kata terakhir?" suara itu adalah suara yang menenangkan penontonku tadi.