Wednesday, August 2, 2017

ANTARA MONYET, MANGGA CURIAN DAN KATAKAN CINTA

Kita mau balik lagi flash back ke beberapa tahun lalu. Di saat umur masih di awali angka satu. Waktu rambut saggy masih merajai. Kepang dua, ala-ala film Rindu-rindu Aishawa masih diminati. Seragam putih biru masih punya dua lipitan di bagian roknya. Yang panjangnya diharuskan di bawah lutut, walau jika tidak di area pandangan guru, bisa disingsing hingga lima senti di atas lutut.

Masa ingusan kata orang. Padahal masa itu paling pantangan kalau terkena flu. Malu tujuh turunan kalau ketahuan menarik lendir yang nyangkut di hidung. Masa baru. Masa yang membingungkan. Masa yang mulai bikin wajah memanas jika ketemu teman laki-laki yang bikin penasaran.

Jangan salah, ya, walaupun aku baru mengenal pacaran ketika lulus SMA, monyet pernah menghampiriku sebelumnya. Eh, maksudnya cinta monyet. Bukan monyet aslinya. Aku kesengsem sama teman satu kelas. Badanya tinggi cenderung ceking. Matanya sipit dengan tahi lalat yang berada di sudut matanya. Hidungnya kecil dengan unjung rada sedikit bengkok, kalau diperhatikan sekilas, sih, tidak bisa terlihat. Bibirnya sensual dan cipokable, (aduh bahasanya Mak. Masih SMP lho itu). Kulitnya kuning gading dan ada tanda hitam di bagian lututnya, mungkin bekas luka kejedot pohon (yang ini aku asal kira).

Dia duduk sejajar dengan mejaku. Kami terpisah oleh dua orang yang tidak mau perduli dengan perasaanku. Selalu susah buat melirak-lirik doi. Tentu saja, itu bukan jadi penghalang. Kan, aku masih banyal akal.

Eh, tapi ada baiknya aku cerita awal mulanya hatiku jadi dihantui parasnya. Waktunya kapan, sih, udah lupa juga. Kejadiannya saja yang membekas. Yah, aku ke dia bukan kepincut pada pandangan pertama. Teman sekelas gitu loh, berasa basi lihat wajah-wajahnya mereka. Walaupun aku tidak begitu akrab dengan siapapun, kecuali teman seperjuangan nyontek yang duduk sebangku denganku, tetap saja aku pernah ngobrol hal yang tidak penting dengannya. Tapi toh, aku perlu naik ke kelas 2 SMP dulu, sampai aku selalu membayangkan sosoknya.

Waktu itu sengaja pulang telat. Aku belum beranjak dari dudukku, walaupun yang lain sudah berdesakan keluar dari kelas setelah mendengar bunyi bel pulang. Aku pura-pura sibuk mencatat pelajaran yang ada di papan tulis. Benar aku masih memegang pulpenku, aku juga masih menggoreskannya di buku. Tapi untuk membentuk satu huruf, aku akan meyelesaikan dalam 3-5 menit. Aku lagi punya misi rahasia yang harus kulakukan.

Kelasku sudah kosong. Di luarpun sepertinya tidak lagi terdengar suara-suara berseliweran. Aku bergegas memasukkan buku dan semua peralatan sekolah. Berjalan cepat menuju pintu. Berhenti dan mengendap-endap, mengintip keluar. Kelas kami yang berada tepat di depan lapangan olah raga, tampak kosong. Sudah tidak ada lagi manusia remaja dan guru-guru menjelang tua terlihat. Aku menyandangkan tasku. Berlari di koridor sekolah. Menyeberangi lapangan, menuju belakang sekolah.

Sudah beberapa hari aku memperhatikan pohon mangga tetangga sekolah. Punya kakek berwajah masam yang sering bergumam sendiri. Ranting yang ditumbuhi tiga buah mangga ada yang menjuntai melewati pekarang sekolah. Agak tinggi. Kalau mau menggapainya, aku harus memanjat ke pagar kayu yang menjadi pembatas sekolah.

Aku celingak-celinguk memperhatikan sekitarku. Memastikan tidak ada manusia ataupun hantu yang melintas. Setelah yakin bahwa aku sendiri, aku melancarkan aksiku. Kulemparkan tasku asal. Mengangkat rokku setengah paha. Mulai merayapi pagar kayu dengan cat putih yang sudah kusam.

Pagar itu tidak tinggi. Paling sekitar 2.5 meter sampai 3 meteran. Jangan tanya ukuran tepatnya. Aku kesini buat nyuri mangga muda, bukan mau hitung inchian kayu. Jadi, puaslah dengan kira-kira yang kusampaikan. Oh, jangan juga kalian mengira aku manjat mangga muda karena aku lagi ngidam. Omo, aku belum tahu apa itu naksir.  Masih polosan. Masih hijau boo.

Cuma hitungan menit saja aku sudah sampai di puncak pagar. Tinggal meraihnya saja. Ah, ternyata jariku tidak bisa mencengkram mangganya. Hanya bisa bersentuhan sedikit. Aku merutuki tubuh pendekku. Rasanya ada sesal dulu malas makan daging (heh, apa hubungannya). Aku berusaha mengangkat tubuhku dengan bertumpu dengan satu tangan. Tangan sebelahnya berusaha menarik mangga yang bergelayutan manja. Rasanya liurku menetes di sudut bibir.

“Ngapain kamu?”

Jangkrik. Tanganku terpeleset. Tubuhku terbang bebas mendarat di tanah. Punggung dan bokongku rasanya remuk. Aku melihat luka di sikuku. Kulitnya terkoyak. Darahnya seperti jelly yang masih menempel. Hadeh, setan mana yang bikin aku kaget.

Aku menatap wajahnya yang sudah berada di belakangku. Tersenyum kecil. Ketika dia bertanya, “apakah aku tidak apa-apa?”. Aku hanya menarik sudut bibirku. Bagaimana mungkin aku bisa bilang aku baik-baik saja. Rasanya aku ingin menyemprot sumpahan di mukanya. Cuma, itukan bukan salahnya juga.

Aku tidak memperdulikannya. Sibuk sendiri dengan rasa sakitku. Mengibas-ngibas kotoran yang menempel di baju dan betisku. Meringis dengan wajah mencong sana mencong sini.

Buah mangga menggelinding di kakiku. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.

Aku mengangkat kepalaku. Memandanginya sudah bertengger di ujung pagar. Membersihkan mangga yang menjuntai yang bisa dijangkaunya. Yes, saat itu, saat itulah dia sering bermain bola di pikiranku. Dia berubah menjadi sosok tampan yang disinari cahaya kemilauan. Senyumannya yang menatapku, membuat aku serasa melambung ke angkasa.

Oh, daebak, aku jatuh kasmaran sama sosok partner in crime ku.

Setelah hari itu, aku sering mencuri pandang padanya. Memperhatikan dia dari sela-sela ketek teman sebangkuku. Melirik-lirik dari balik jariku. Tebak saja, aku tidak berani lagi menyapanya. Bahkan hari itu, setelah memasukan mangga ke dalam ranselku, aku pergi tanpa pamit padanya. Hatiku deg-deg sher tidak karuan.

Mana mungkin aku berani menyapanya. Bahkan ketika pandangan kami beradu, aku cepat-cepat memalingkan wajahku. Oh my god, detak jantungku yang berderu kuat rasanya mau keluar. Bisa-bisa jika tubuhku dibuat olek para kartunia, jantung dengan bentuk love, akan keluar masuk di dada.

Sepertinya, pernah beberapa kali dia ingin mendekatiku. Tapi aku selalu mengambil langkah seribu menjauh darinya. Mungkin, dia mau minta maaf karena kejadian dulu. Padahal, dia saja yang tidak sadar, kejadian waktu itu sudah merubah jam tidurku.

Memendam rasa itu menyebalkan. Bikin sakit leher, gara-gara sering menengok ke kanan tempat dia duduk. Bikin sembelit, aku jadi susah makan. Bikin jariku parkinson, telunjuk selalu bergerak menulis awalan namanya. Pokoknya, rasa ini bikin muak.

Pengen saja dikatakan langsung apa yang sedang menghantuiku. Tapi baru saja punya niat, aku gelisah tidak karuan. Berasa panas dingin sampai merinding. Tapi tidak dikatakan, duniaku rasa jungkir balik. Benar-benar dunia yang mengerikan.

Aku seperti tikus yang ketemu macan kalau sudah berpapasan dengannya. Jika bisa lari, aku akan kabur secepat kilat. Jika tidak punya alasan menjauh, aku belingsatan seperti cacing kepanasan.

Ya, Tuhan. Kenapa menyiksa aku seperti ini.

Pagi itu aku sudah begitu kelelahan dengan hatiku. Sudah berminggu-minggu, bahkan sudah hampir mencapai bulan ke empat aku menjadi pengagum rahasianya. Tubuhku tidak punya selera untuk bergerak. Aku memilih membaringkan tubuhku di kelas ketika jam olah raga berlangsung.  Menjejerkan dua kursi sebagai alas rebahanku.

“Kamu tidak apa-apa?”

Tubuhku langsung berdiri tegak. Wajahku menegang. Bibirku kaku dan terasa dingin. Walaupun kaki serasa digelayuti beban seratus kilogram, aku melangkah menjauh. Aku masih melihat sekilas wajahnya yang berubah kecewa. Samar aku mendengarnya berdecak.

Dia memalingkan wajahnya. Seketika aku mengerem kakiku. Mematung dengan pose tertunduk. Aku mengumpulkan kekuatan. Mengeraskan kepalan. Ups, perutku tiba-tiba mulas akut. Lubang buritku serasa ada yang berjejalan mendesak keluar.

“Im…” suaraku parau.

Ya, ampun, aku serasa menelan ribuan kutu yang tidak bisa tertelan. Menempel di pangkal leher dan mengigiti pita suaraku. Tadi pagi suaraku baik-baik saja. Waktu merajuk sama Mama, dan tidak menyelaminya waktu turun sekolah, malah milih berteriak, “assalamu’alaikum.” Suaraku masih nyaring dan tetap cempreng. Apa yang terjadi??

Aku melihat dia memalingkan wajah kepadaku. Menungguku mengatakan sesuatu.

Aku gemetaran. Tiba-tiba ada bayangan bintang yang sedang menari mengelilingiku. Samar aku merasakan kepalaku bergoyang ke kanan dan ke kiri.

Aku benar-benar sibuk menata hatiku yang saling adu argumen. Saling lempar-lemparan kata. Saling adu urat. Aku sampai ingin berteriak ke hatiku sendiri agar diam.

“Im, aku suka kamu…”

Suaraku seperti nek lampir yang dilindas bemo. Antara serak, tercekat, melengking ke dalam, dan serak-serak lumpur. Tapi aku yakin dia mendengarnya. Apa , iya, dia mendengarnya. Tapi kenapa dia melongo. Kenapa wajahnya memerah dan aku malah melihatnya berubah menjadi kepiting dengan capit yang kepanasan.

Lalu aku mendengar suara suit-suitan dari arah depan pintu kelas. Ada iringan lagu, “cie...cie…” yang bersahutan. Ada sorakan, “terima… terima…” seperti para alayers yang menyemangati acara Katakan Cinta.

Aku benar-benar mau muntah sekarang. Aku melesat cepat, berlari. Menyibak kerumunan penghuni kelas yang sedari tadi ternyata ingin memasuki kelas. Jika saja bisa, aku ingin memindah kepalaku di pantat, dan pantat ke kepala (jangan terlalu usil membayangkannya, ya). Ini benar-benar super memalukan.

No comments: