Saturday, August 5, 2017

HUJAN DI SABTU MALAM

Biasanya, dia akan menarik tubuhku ke tepi setiap kali aku menikmati hujan di halaman belakang rumah. Aku memang menyukai hujan. Sangat malah. Aku tidak bisa menahan diriku setiap kali titikannya semakin lebat dan mengguyuri atap rumah.

Tarikannya akan membuat kepalaku terbentur lembut di bahunya. Aku hanya sependek itu di hadapannya. 155 cm. Dan dia seorang arjuna yang punya tubuh tinggi yang atletis.

“Kamu pikir, kamu bisa terlihat sexy jika main hujan-hujanan?”

Aku tidak perduli dengan matanya yang mendelik marah. Aku hanya tertawa. Menggosok-gosokkan pucuk kepalaku ke dadanya berulang-ulang. Membuat tubuhnya ikut basah. Dan dia akan menjauh beberapa centi untuk menghindari walau tangannya tidak melepaskan tubuhku.

“Rena, stop!” perintahnya.

Seperti tidak mendengar suaranya, aku malah maju dan mendekapnya. Kali ini, wajahku yang ku gosokkan. Aku tertawa kegirangan, ketika bajunya seperti menempel dengan lekukan tubuhnya. Dan seperti sudah putus asa untuk menegurku, aku akan merasakan kecupan di ubun-ubunku. Punggungku yang semakin hangat karena dekapan erat.

Sejenak dia akan diam dan jemarinya menyusuri rambutku yang basah. Tangannya bergerak hanya sebatas tengkukku, karena aku tidak memiliki rambut yang panjang. Bahkan rambutku baru sekitar tiga centian tumbuhnya. Katakan sialan pada kemotrapi.

“Sepertinya kamu sudah semakin berat, Ratuku.”

Aku kaget ketika tubuhku dengan tiba-tiba digendongnya. Walaupun bukan yang pertama kali, sikapnya yang seperti ini selalu saja mampu membuat pipiku serasa memanas. Aku benar-benar tidak bisa menahan bibirku untuk mengecup pipinya. Aku sangat mencintainya.

“Aku akan menggantikan bajumu, setelah itu kamu istirahat, sayang.”

Aku merangkulkan kedua tanganku di lehernya. Merebahkan kepalaku di bahunya. “Mengapa kamu pulang terlambat?”

Dia tidak langsung menjawabnya. Raut wajahnya pun berubah. Dia menatapku dengan gamang. “Maafkan aku sayang.” Keningku diciumnya lama. “Biasa, kantor.”

“Hanya karena itu wajahmu jangan berubah sendu begitu, sayang.” Kuusap pipinya yang mulai ditumbuhi rambut halus. “Kamu bekerja keras untuk kesembuhanku. Kamu pahlawanku.”

Dia menurunkanku di atas ranjang. Mencari handuk dan mulai menyapukannya di kepalaku. Di tubuhku. Membantuku membuka bajuku dan menggantikannya dengan yang bersih. Dia memintaku untuk berbaring dan menyelimutiku.

“Aku mandi sebentar, kamu langsung tidur saja.” Kembali dia mengecupkan bibirnya di keningku.

Aku memperhatikannya melepas semuanya bajunya. Meletakkan baju yang dipakainya di keranjang baju kotor. Membalutkan handuk di pinggangnya. Kemudian hilang di balik kamar mandi. Aku tidak langsung mendengar suara gemericik air, aku tahu, dia pasti sedang mengisap rokoknya di dalam sana.

“Apa kamu butuh sesuatu?”

Dia baru saja keluar dari kamar mandi ketika mataku menyambutnya. Aku tidak mengalihkan pandanganku sedikitpun darinya dan terus mengekori geraknya. Sampai dia telah memakai baju berwarna biru laut dan celana pendek selutut. Langkahnya menuju ke arahku dan duduk di sampingku.

“Apa ada yang kamu inginkan?” tanyanya lagi.

“Bolehkah aku minta martabak manis?” ucapku ragu-ragu. “Dan aku ingin ikut.”

Dia tertawa kecil, mengusap pucuk kepalaku. “Aku akan membelikannya. Tapi kamu tidak boleh kemana-mana.”

Aku mengiringi kepergiannya dari balik jendela kamar. Terus memandangi mobilnya hingga tidak nampak lagi dari pandanganku. Aku tidak menggerakkan tubuhku sekian lama, walau hanya hujan dan rumah-rumah tetangga saja yang kini nampak.

Bunyi dering ponsel yang sudah beberapa kali terus berbunyi masih belum ingin membuat aku beranjak. Aku menolehkan kepalaku memandang kerlipan layar, ada tulisan ‘My Soul’ di layar. Itu panggilan dari nomornya. Ketika panggilan itu terus memekakan dan terlihat tidak ingin menyerah, bahkan aku sempat melihat ada tulisan ’15 missed call’, sebelum akhirnya layar kembali beralih ke mode ada panggilan. Aku meraih dan menerima panggilannya.

“Halo...”

“Halo, Ibu, ini sama istri yang punya hp ini, ya? Suami Ibu kecelakaan parah. Ibu segera ke rumah sakit daerah. Ambu...”

Handphone-ku melorot begitu saja dari genggamanku. Jatuh, dengan suara seseorang masih berbicara di salurannya. Aku menggenggam jemariku kuat di gorder yang berada di belakangku. Tergugu tanpa suara dan airmata.

Aku merentangkan tanganku dengan kepala tengadah ke langit. Aku tidak sanggup menahan nyeri di dadaku yang tiba-tiba menelusuk. Aku butuh hujan. Aku ingin membaur dengan hujan. Karena itu, aku melangkahkan kakiku ke belakang rumah dan kembali menyambut hujan. Aku ingin hujan mendekapku yang dalam ketakutan.

Entah berapa lama aku menari di bawah hujan. Biasanya dia akan menarikku ke tepi. Tapi kali ini tidak lagi. Memoriku masih segar mengingat saat aku mengantarnya hilang di balik kamar mandi. Tidak lama ada bunyi pesan masuk dari ponselnya. Aku melihat notifikasi yang terpampang di layar. Pesan dari seseorang bernama Sari.

‘Terima kasih untuk malam ini.’

‘Aku menyayangimu.’

Rasanya duniaku saat itu hancur membaca dua deret notifikasi itu. Lalu aku mulai merasa jelas akan semuanya. Ini sabtu malam, seharusnya dia tidak bekerja. Dia juga tidak mungkin lembur. Seharusnya sedari pagi dia menghabiskan waktu bersamaku. Ah, tadi pagi dia juga berkata, bahwa dia tidak mengapa hari ini terlambat. Turun agak siangan sekitar jam 10 pagi.  Aku sekarang mengerti.

Aku berjalan ke luar rumah. Menuju mobilnya dengan berbekal pisau dapur. Memotong kabel remnya secepat yang aku bisa. Kembali lagi dan menyelimuti tubuhku hingga sebatas leher. Mengatur nafasku yang terhengal. Dan nafasku seakan terhenti beberapa detik ketika dia keluar dan mata kami saling beradu.






1 comment:

Al Faqih said...

Wah penasaran sama lanjutan ceritanya.

Akankah ada jawaban atas masalah tersebut?

Bagus ceritanya ka.

BTW saya suka blog kaka, udah saya follow, follow balik dong hehe Newbie nih